Celotehan Malam Ini ....
Sorotan keemasan
yang seakan melekat pada daun pohon jati dekat kandang sapi yang bersemi.
Menjadi serangkaian dan perpaduan kenikmatan tak terkira pada pagi ini. Dengan
sedikit dibumbuhi senyuman manis dari sang makhluk ciptaan ilahi, semakin
menggugah selera sang pujaan hati serta mengundang keriuhan burung yang saling
bersautan dalam bernyanyi, juga menambah keelokan rumah sederhana dengan dapur
reyot berdindingkan gedeg (sebuah anyaman dari bambu). Inginku lari dan kuraih
rasa yang pernah mati dan akan kuhidupkan serpihan hati yang sudah cukup lama
tak berarti. Kucoba menghapus jejak memori tentang indahnya masa laluku. Dan kubangkit
untuk kesekian kalinya dari keterpurukan yang hakiki. Demi bisa menjalani
kehidupan yang nampak berseri. Seonggok harapan kini telah menyapa. Kemudian kurajut
asa dengan pasti sehingga tak ada sedikit pun perasaan ragu didalamnya.
Namun
apa daya, jerih payah yang kubangun ternyata dianggap sia-sia tanpa sisa. Ingin
kumaki diri ini yang sama sekali tak berguna. Persoalan yang sepele seakan
menjadi hal yang pelik namun bisa mencekik. Ribuan keluh kesah dengan mudah
kusebar kesemua orang tanpa terkecuali. Betapa dermawannya diriku yang baik dan
bermurah hati membagi luka pada setiap insan pengabdi ilahi.
"Duh gusti.. ampuni hambamu ini yang tak pantas dikasihi. Hanya menyusahkan kekasih hati namun masih rendah hati kok (kalo aja nggak khilaf wkwk)."
Kolaborasi aksi dan hati
antar sahabat sejati turut andil dalam menyukseskan sinergi berbagi pentingnya meniti dan menata
hati denagn menguliti hal yang menyakitkan hati ini. Waktu berselang dan
berlalu dengan cepat. Tak sengaja kujumpai seorang lelaki yang berparas rupawan
namun sikapnya agak dingin seperti batu yang disimpan pada lubang tanpa tawa.
Sengaja ku menengadah dan kuraih tangannya dengan sedikit kulirik telapak yang
penuh sayatan bekas memegang parang. Kutebas
semua rasa ragu yang selama ini telah menggrayungi pikiran.
Sejenak aku menghela
napas agar pernapasan terkesan lancar. Kuberanikan diri untuk lekas memegang
erat tangan kanannya sembari ku berjalan disampingnya. Terlintas dalam benakku untuk
tidak ingin lengah sedikit pun dari hadapannya. Ku ingin selalu berjalan
beriringan dengannya entah itu dalam waktu canda tawa bahkan gundah gulana. Kuhentikan
langkah kaki ini dan kutengok wajahnya yang nampak kusam dan mendaki akibat
sengatan sang surya. Siang itu suasana sangat mendukung, angin semilir seakan
tahu romansa yang sedang terjadi, dedaunan sedang asyiknya menari-nari seakan bersuka
cita menyambut kedatangan kami. Langkah demi langkah, kami menyisir tanah lapang
dengan sekat segerombol pohon kayu putih yang berderet rapi (persis tentara
yang siap berperang) dengan tinggi sepundakku. Aku pun sadar semua
ungkapan tadi hanyalah isapan jempol semata yang kuukir dalam sebuah imajinasi
yang entah kapan akan menjadi suatu kenyataan yang berarti.
0 comments:
Post a Comment