-->

Friday, May 8, 2020

Mengapa orde baru membungkam pers?

Oleh : Ahmad Fajar Ramadhan

Media massa atau pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media. Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu. Namun, bagaimana jika media massa atau pers dikendalikan oleh pemerintah secara ketat sampai adanya pembreidelan terhadap media massa?

Kekuasaan politik Orde Baru yang efektif tersebut berakar dari paling tidak empat sumber utama, yaitu represi fisik dan hukum, klientelisme ekonomi, wacana politik partikularistik yang mendukung otoritarianisme, dan pengembangan korporatisme negara. Tatkala Orde Baru berupaya untuk membangun konsolidasi politik di awal l970-an, kekerasan adalah instrumen utama yang dipakai oleh pemerintah Orde Baru dalam mencapai stabilitas politik. Aktivitas politik di periode sebelumnya dihancurkan dan kekuatan oposisi dibatasi. Termasuk dengan kebebasan pers di era orde baru yang sangat dibatasi. David T. Hill dalam bukunya yang berjudul Pers di Masa Orde Baru membahas tentang perkembangan pers setelah merdeka khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru membangun relasi saling terkait yang pelik antara kendali keamanan dan undang-undang tangan besi yang mengendalikan pers. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang berusaha untuk menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabat yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah. 

Dalam buku ini juga dipaparkan tentang periode-periode pemerintah melakukan tindakan anti pers atau lebih sering dikatakan sebagai pembredelan terhadap pers, kebebasan pers yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto hanya sebagai kebebasan semu. Ini terbukti dari adanya pembreidelan terhadap surat kabar maupun majalah karena dianggap memuat berita yang dapat mengganggu kestabilan politik.

Pada masa Orde Baru terdapat peraturan tentang adanya keharusan mendapatkan izin untuk menerbitkan surat kabar, namun proses untuk mendapatkan izin cukup sulit, ditambah kebebasan pers hampir dikatakan tidak ada ketika adanya Undang-Undang Pers 1982 mencantumkan pasal keharusan mendapatkan Surat Izin Usaha Percetakan Pers (SIUPP), meskipun Surat Izin Terbit dihapus, dengan munculnya SIUPP sebagai alat kontrol terhadap pers oleh pemerintah. Peraturan ini lebih berat dirasakan oleh industri pers karena ketika surat kabar dan majalah dianggap memberitakan isu-isu yang dapat mengganggu kestabilan keamanan dan politik serta kehidupan Presiden Soeharto, maka Menteri Penerangan dapat membatalkan SIUPP yang diberikan. Tindakan tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan bagi industri pers karena surat kabar dan majalah dibreidel dan tidak ada sumber rezeki dari industri pers yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi para karyawan.

Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) terhadap tiga media massa nasional yaitu Majalah Berita Mingguan Tempo, Editor, dan Detik oleh Pemerintahan Orde Baru pada 21 luni 1994 lalu telah menimbulkan reaksi yang keras dari masyarakat. Praktek pembreidelan terhadap pers itu cukup kontradiktif dengan kampanye keterbukaan politik dan demokratisasi yang digembor-gemborkan oleh Pemerintah Orde Baru. Banyak protes yang muncul dari berbagai kalangan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populer itu. Serangkaian demonstrasi pun meletup, yang dipelopori oleh elemen masyarakat yang beragam, dari wartawan, aktivis-aktivis sosial, mahasiswa, dan cendekiawan. Semuanya bermuara pada gugatan yang sama, yaitu menuntut kebebasan pers di Indonesia dan mengecam tindakan pemerintah yang tidak demokratis. Mereka menganggap apapun alasannya, pembreidelan terhadap pers tidak dapat diterima.

Jaminan terhadap kebebasan pers telah menjadi syarat mutlak bagi upaya demokratisasi. Pers dianggap sebagai pilar demokrasi keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pers memposisikan dirinya menjadi letnbaga kontrol sosial dalam praktek kehidupan bernegara. Melalui lembaga pers, masyarakat dapat melakukan kritik dan koreksi terhadap realitas sosial politik yang sedang berlangsung. Kebebasan pers sekaligus juga manifestasi dari kebebasan berpendapat dan berpikir yang merupakan hak dasar manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Pembreidelan terhadap kehidupan pers adalah suatu bentuk kekerasan terhadap hak dasar manusia. Protes yang muncul atas tindakan pembreidelan pada umumnya berangkat dari keyakinan seperti itu. Represi terhadap kebebasan pers yang bermakna pada kebebasan berpendapat, tentu saja memancing konflik sosial-politik, antara kepentingan pemerintah dan hak masyarakat, yang semua itu mengarah kepada situasi yang tidak harmonis.

Di bawah kondisi politik yang otoriter, tarik menarik antara kepentingan pemerintah dan masyarakat secara umum, selalu saja dimenangkan oleh pemerintah. Akibatnya pers tidak lagi bebas dalam menyuarakan kepentingan publik, tapi ia harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Apabila pers keluar dari jalur yang secara hegemonik ditancapkan oleh pemerintah, maka berakibat hilangnya hak hidup pers yang bersangkutan. Pemerintah melalui lembaga-lembaga di bawahnya akan menghabisi eksistensi pers tersebut.

HIMA JPE merupakan sebuah organisasi mahasiswa selingkup jurusan yang menaungi aspirasi, minat dan bakat mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi universitas negeri surabaya.

0 comments:

Post a Comment

Contact

Send Us A Email

Address

Contact Info

Sekretariat HIMA JPE FE Unesa Gedung G11, Universitas Negeri Surabaya. Surabaya - Jawa Timur | Indonesia.

Address:

Jl. Ketintang, Surabaya

Phone:

+6281335684810 (Haidar)

Email:

himajpeunesa@gmail.com