-->

Monday, May 4, 2020

REFLEKSI HARI BURUH 1 MEI 2020

Oleh: Ahmad Fajar Ramadhan

Hari Buruh pada umumnya dirayakan pada tanggal 1 Mei, dan dikenal dengan sebutan May Day. Hari buruh ini adalah sebuah hari libur (di beberapa negara) tahunan yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Hari Buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politik hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. 

Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei ini. Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Soviet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein. Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian Gerakan 30 September pada 1965 ditabukan di Indonesia. 

Semasa Orde Baru berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas tidak pas, karena mayoritas negara-negara di dunia ini (yang sebagian besar menganut ideologi non komunis, bahkan juga yang menganut prinsip anti komunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional. 

Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif dan didalangi gerakan komunis. 

Kenaikan upah menjadi isu yang selalu melekat ketika terjadi aksi mogok kerja serikat buruh di Indonesia pasca reformasi. Isu ini seolah-olah menjadi isu tunggal yang diperjuangkan kaum buruh ketika aksi mogok, aksi blokade jalan, ataupun aksi demonstrasi. Kata “buruh” dan “upah” seakan-akan melekat satu sama lain antara definisi dan maknanya, berbicara buruh dikonotasikan berbicara tentang upah sehingga pemerintah dan publik sering terjebak dalam kesempitan isu ketika berbicara tentang buruh. Asumsi tersebut meruncing pada relasi isu kebijakan pemerintah dengan kaum buruh hanya sebatas pada masalah Upah Minimum Provinsi/Kabupaten (UMP/UMK). Diakui bahwa kenaikan upah memang menjadi isu strategis yang diperjuangkan oleh kaum buruh tetapi bukan menjadi isu tunggal dari perjuangan
gerakan buruh.

Isu kenaikan upah buruh menjadi memanas tatkala harus berhadapan dengan negara dan pasar. Semasa Orde Baru, kasus Marsinah menjadi titik hitam bagi sejarah politik Indonesia tatkala buruh harus dijadikan tumbal ‘kongkalingkong’ antara negara dan pasar. Marsinah menjadi salah satu saksi bisu kejamnya negara dan pasar dalam membungkam aksi perjuangan kaum buruh di Indonesia tatkala menuntut kenaikan upah sebagai salah satu hak perburuhan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu menjadi representasi negara dalam merepresi kaum buruh, sedangkan asosiasi pengusaha menjadi representasi pasar untuk menekan pemerintah.

Isu perjuangan kaum buruh semasa Orde Baru tidak hanya semata masalah kenaikan upah, tetapi perjuangan hak sipil politik atas eksistensi organisasi mereka. Rezim Orde Baru sangat represif atas eksistensi organisasi serikat buruh. Mereka tidak hanya dicap sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi juga dianggap sebagai penghambat pembangunan. Aksi mereka sering dimaknai sebagai tindakan subversif melawan Negara ketimbang dimaknai sebagai realitas politik demokratis. Pemosisian kaum pemodal sebagai mitra pembangunan Orde Baru menjadi ancaman tambahan bagi nasib kaum buruh.

Oligarkisme ekonomi yang ditunggangi kekuatan militer menjadi sebuah struktur politik yang harus dihadapi oleh serikat buruh saat itu. Oleh sebab itu, isu utama yang diperjuangkan kaum buruh semasa Orde Baru lebih banyak mengarah pada masalah tuntutan hak sipil dan hak politik, yaitu eksistensi dan independensi politik serikat organisasi kaum buruh.

Isu dominan mereka bukan lagi represif negara tetapi lebih mengarah pada tekanan pasar internasional dibawah bendera Multi National Corporation (MNC), World Trade Organization (WTO), dan Bank Dunia. Pasar menjadi musuh nyata gerakan buruh dan pemerintah kian bingung ketika harus mediasi antara kepentingan buruh dengan pengusaha. Pengusaha dan buruh sama-sama membangun kekuatan dan jejaring politik agar kepentingan mereka bisa terakomodasi dalam proses pembuatan kebijakan.

Salah satu prestasi politik awal tuntutan buruh pasca reformasi di ranah kebijakan publik yaitu dikeluarkannya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Yang cukup menjadi ancaman serius bagi pengusaha dalam undang-undang tersebut adalah tentang sanksi yang akan diberikan oleh negara kepada perusahaan yang mencoba melanggar ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP). Pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan UMP dianggap sebagai pelaku kejahatan dengan ancaman sanksi penjara dari satu hingga empat tahun dan denda minimal Rp. 100.000.000 dan maksimal Rp. 400.000.000. UMP yang ditetapkan merupakan gaji pokok bagi pekerja yang masih belum menikah dan punya masa kerja 0-12 bulan.

Kebebasan buruh berserikat seringkali terancam oleh pihak pengusaha, pengusaha menganggap bahwa keberadaan serikat buruh hanya sebagai penganggu jalannya usaha. Bentuk ancaman yang seringkali terjadi adalah gaji yang akan diturunkan, pelayanan kesehatan dan perlindungan kerja yang tidak baik, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. 

Tujuan dibentuknya serikat buruh/serikat pekerja adalah menyeimbangkan posisi buruh dengan pengusahannya. Melalui perwakilan buruh di dalam serikat buruh/serikat pekerja, diharapkan aspirasi buruh dapat sampai kepada pengusahanya. Selain itu, melalui wadah serikat buruh/serikat pekerja ini diharapkan akan terwujud peran serta buruh dalam proses produksi. Hal ini merupakan satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. 

Serikat buruh atau serikat pekerja yang merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja haruslah memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan dan begitu pula sebaliknya, pengusaha harus memperlakukan pekerja sebagai mitra sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.

HIMA JPE merupakan sebuah organisasi mahasiswa selingkup jurusan yang menaungi aspirasi, minat dan bakat mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi universitas negeri surabaya.

0 comments:

Post a Comment

Contact

Send Us A Email

Address

Contact Info

Sekretariat HIMA JPE FE Unesa Gedung G11, Universitas Negeri Surabaya. Surabaya - Jawa Timur | Indonesia.

Address:

Jl. Ketintang, Surabaya

Phone:

+6281335684810 (Haidar)

Email:

himajpeunesa@gmail.com